Ditujukan Sebagai Artikel Ilmiah Dalam
Menyelesaikan Tugas Ujian Akhir Semester Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia, Universitas Pamulang
Dosen Pengampu: Eris Risnawati S.Pd., M.Hum
Disusun
Oleh :
Putri Fajar Aulia
191010700413
UNIVERSITAS PAMULANG
Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia
Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia
Tangerang Selatan
2020/2021
TEORI PENGKAJIAN FIKSI DALAM PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA SEBAGAI UNSUR FIKSI
DAN SEBUAH FENOMENA
Putri Fajar Aulia
Prodi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia,
UniversitasPamulang
aauliaputri875@gmail.com
Abstract:The researcher chooses Language and Literature as an
element of fiction and a phenomenon because in this study the theory. This Fiction study is expected to be able to use language in a
variety of ways according to the phenomena in everyday life, the use of
language in literature has a certain function, namely carrying the aesthetic
value of literary works, honing the responses of the readers' minds and
supporting the meaning contained in it. This research is in the form of
descriptive or description that describes specifically with qualitative
methodsuses a contextual approach.Based on the results of data analysis, this
study resulted in the following conclusions. 1). The use of language that can
provide certain values and functions in carrying out literary works 2). The
use of grammatical structures in the grammar used.
Keywords: Fiction, Language and Literature.
Abstrak: Peneliti memilih
Bahasa dan Sastra sebagai unsur fiksi dan Sebuah Fenomena karena dalam
penelitian ini teori. Pengkajian Fiksi ini diharapkandapat mendayagunakan bahasa
secara variatif sesuai dengan fenomena di kehidupan sehari-hari, penggunaan
bahasa dalam sastra mempunyai fungsi tertentu yaitu mengemban nilai estetis terhadap
karya sastra, mengasah tanggapan pikiran para pembaca dan mendukung makna yang
terkandung di dalamnya. Penelitian ini berbentuk deskriptif atau deskripsi yang
menggambarkan secara spesifik dengan metode kualitatifmenggunakan pendekatan
kontekstual. Berdasarkan hasil analisis data, penelitian ini menghasilkan
simpulan, yaitu sebagai berikut. 1). Penggunaan bahasa yang dapat memberikan
nilai dan fungsi tertentu dalam mengemban karya sastra 2). Penggunaan struktur
gramatikal dalam tata bahasa yang digunakan.
Kata
Kunci
: Fiksi, Bahasa dan Sastra.
PENDAHULUAN
Pengkajian fiksi merupakan sarana bahasa dalam seni sastra yang
penting khususnya dalam sebuah ruang sastra. Pengkajian
terhadap karya fiksi, berarti penelaah, penyelidikan, atau mengkaji, menelaah,
menyelidiki karya fiksi tersebut. Novel merupakan sebuah struktur organisme
yang kompleks, unik, dan mengungkapkan segala sesuatu (lebih bersifat) secara
tidak langsung. Tujuan utama analisis kesastraan, fiksi, puisi, ataupun yang
lain adalah untuk memahami secara lebih baik karya sastra yang bersangkutan, di
samping untuk membantu menjelaskan pembaca yang kurang dapat memahami karya
itu.Dalam aspek kebahasaan, keduanya merupakan unsur bahan, alat dan sarana
yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “ nilai lebih”
daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa sendiri yaitu sarana dalam
pengungkapan Sastra. Di pihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa, deretan
kata, namun unsur “kelebihannya” itu pun dapat diungkap dan ditafsirkan melalui
bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan sesuatu, mendialogkan sesuatu,
sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan lewat sarana bahasa. Bahasa dalam
sastra pun mengemban fungsi utamanya, yaitu fungsi komunikatif.Ada beberapa
buku yang membahas teori Pengkajian Fiksi dalam Bahasa dan Sastra, salah satunya
karya Burhan Nurgiantoro ini yang seringkali mengulik menjelaskan bagaimana
bahasa itu bisa dikatakan sebagai unsur fiksi dan bahasa sastra sebagai sebuah
fenomena?.
Manfaat yang
akan terasa dari kerja analisis itu adalah jika kita (segera) membaca ulang karya-karya
kesastraan (novel,cerpen) yang dianalisis itu, baik karya-karya itu dianalisis
sendiri maupun orang lain. Namun demikian adanya perbedaan penafsiran dan atau
pendapat adalah sesuatu hal yang wajar dan biasa terjadi, dan itu tidak perlu
dipersoalkan. Tentu saja masing-masing pendapat itu tak perlu memiliki latar
belakang argumentasi yang dapat diterima.
Heuristik
merupakan pembacaan karya sastra pada system semiotik tingkat pertama, berupa
pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan)
yaitu pengetahuan tentang bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa.
Hermeneutik merupakan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya dan
sebaliknya, pemahaman unsur-unsur berdasarkan keseluruhannya. Dalam kajian
kesastraan peda umumnya dikenal analisis struktural dan semiotik. Kajian
analisis struktural menekankan pada adanya fungsi dan hubungan antarunsur
(intrinsik) dalam sebuah karya sastra. Kajian semiotik merupakan usaha
pendekatan yang muncul lebih kemudian, yang antara lain sebagai reaksi atas
pendekatan struktural yang dianggap mempunyai kelemahan-kelemahan. Namun dalam
praktik kedua pendekatan ini sulit dibedakan karena saling melengkapi.
Karya Imajiner
dan Estis. Prosa dalam pengertian kesastraan juga disebut fiksi (fiction), teks
naratif (narrative teks) atau wacana naratif (narrative discource) (dalam
pendekatan struktural dan semiotik). Istilah fiksi dalam pengertian ini adalah
cerita rekaan atau cerita khayalan. Fiksi merupakan karya naratif yang isinya
tidak menyaran pada kebenaran sejarah (Abrams, 1981: 61). Karya fiksi menyaran
pada suatu karya yang menceritakan sesuatu yang bersifat rekaan, khayalan dan
tidak sebenarnya. Istilah fiksi sering digunakan dalam pertentangan dengan realitas
sesuatu yang benar ada dan terjadi pada dunia nyata yang bersifat empiris,
inilah yang membedakan antara fiksi dan non fiksi. Tokoh, peristiwa, dan tempat
yang disebut-sebut dalam fiksi adalah tokoh, peristiwa, dan tempat yang
bersifat imajinatif, sedangkan pada karya nonfiksi bersifat faktual.
Fiksi menurut
Alternberd dan Lewis (1966: 14), dapat diartikan sebagai ”prosa naratif yang
bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang
mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.” Dalam dunia kesastraan
terdapat suatu bentuk karya sastra yang mendasarkan diri pada fakta. Karya yang
demikian oleh Abrams disebut sebagai fiksi historis (historical
fiction), jika yang menjadi dasar penulisan fakta sejarah, fiksi biografis
(biographical fiction), dan fiksi sains (scince fiction), jika yang menjadi
dasa penulisan fakta ilmu pengetahuan.Kebenaran Fiksi. Ada perbedaan antara
kebenaran dalam dunia fiksi dengan dunia nyata. Kebenaran dalam dunia fiksi
adalah kebenaran yang sesuai dengan keyakinan pengarang, yang keabsahannya
sesuai dengan pandanganya terhadap masalah hidup dan kehidupan.
Rumusan masalahberdasarkanlatarbelakanuntukmengetahui
apa
pengertian bahasa sebagai unsur fiksi, apa pengertian bahasa
sastra sebagai sebuah fenomena, bagaimana
hubungan sastra sebagai unsur fiksi dengan bahasa sastra sebagai sebuah
fenomena. Tujuanpenulisanartikeliniuntik menjelaskan Teori
Pengkajian Fiksi dalam Bahasa sebagai Unsur Fiksi dan bahasa sastra sebagai
sebuah fenomena, mengetahui kaitan
atau hubungan bahasa sebagai unsur fiksi dan Sebuah fenomena, mendeskripsikan bahasa, mengidentifikasi
bahasa sebagai unsur fiksi dan Sastra sebagai sebuah fenomena
Manfaatpenulisanartikelini untuk pembaca
sebagai sarana menambah wawasan ilmu dan edukasi mengenai dunia sastra,
memperkenalkan sastra kepada masyarakat dan memberikan ruang kepada masyarakat
untuk berekspresi lewat cerita, sejarah dan budaya sastra itu sendiri. untuk
penulis sendiri sebagai sarana mengembangkan kreativitas di bidang karya tulis, mengasah bakat dan ide
untuk membuat inovasi baru di dalam dunia sastra.
Sumber
data yang diperoleh didapatkan dari buku-buku yang mengulas tentang Pengkajian
Fiksi. Teknik pengumpulan data berupa tulisan, dokumen, buku, Internet, dan
media cetak. Teknik analisis data dilakukan dengan membaca, mencari dan
melakukan observasi langsung terhadap buku yang akan diulas, mengklasifikasikan
dan menginterpretasikan data sesuai dengan submasalah penelitian, melakukan
pemeriksaan keabsahan data dengan langkah ketekunan membaca. Selanjutnya,
menyimpulkan hasil penelitian yang berkenaan tentang bahasa dan sastra sebagai
unsur fiksi dan Sebuah Fenomena.Penelitian ini berbentuk deskriptif atau
deskripsi yang menggambarkan secara spesifik dengan metode kualitatif. Adapun untuk
pendekatan teorinya sendiri menggunakan pendekatan kontekstual.
PEMBAHASAN
Bahasa sebagai unsur fiksi dimana bahasa dalam seni
sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur
bahan, alat, dan sarana yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang
mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa
merupakan sarana pengungkapan sastra.Di pihak lain sastra lebih dari sekedar
bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihannya”itu pun hanya dapat diungkap
dan ditafsirkan melalui bahasa. Jika sastra dikatakan ingin menyampaikan
sesuatu, mendialogkan sesuatu, sesuatu tersebut hanya dapat dikomunikasikan
lewat sarana bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya, yaitu
fungsi komunikatif.
Teks fiksi atau
secara umum teks kesusastraan, di samping sering disebut sebagai dunia dalam
kemungkinan, juga dikatakan sebagai dunia dalam kata. Hal itu disebabkan
“dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan dan sekaligus
ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Apapun yang akan dikatakan pengarang
atau sebaliknya ditafsirkan oleh pembaca, mau tidak mau harus bersangkut-paut
dengan bahasa. Struktur fiksi dan segala sesuatu yang dikomunikasikan
senantiasa dikontrol langsung oleh manipulasi bahasa pengarang, (Fowler,
1997:3). Untuk memperoleh efektivitas pengungkapan, bahasa dalam sastra
disiasati, dimanipulasi dan didayagunakan secermat mungkin sehingga tampil
dengan sosok yang berbeda dengan bahasa nonsastra.
Bahasa Sastra sebuah fenomena pada umumnya
orang beranggapan bahwa bahasa sastra berbeda dengan bahasa nonsastra, bahasa
yang dipergunakan bukan dalam (tujuan) Pengucapan sastra. Namun, “perbedaannya”
itu sendiri tidak mutlak atau bahkan sulit di identifikasi. Bagaimana pun, bahasa
sastra haruslah diakui eksistensinya, keberadaannya. Sebab, tidak dapat
disangkal lagi, ia menawarkan sebuah fenomena yang lain. Keberadaan nya paling
tidak dapat disejajarkan dengan ragam-ragam bahasa seperti dalam konteks
sosiolinguistik yang lain. Seperti apa Karakteristik sosok bahasa itu,
seolah-olah masih Bagaikan rumusan “Hipotesis” yang perlu di buktikankebenarannya. Banyak orang
telah mencoba mengidentifikasikan dan mudah diduga,
sebab bahasa sastra memang bukan merupakan sesuatu yang bersifat eksak, mereka mengemukakan rumusan dan atau ciri-ciri
yang berbeda, artinya tidak ditemukan kata sepakat.Kata sepakat,
barangkali memang tidak diperlukan, yang penting adalah kesadaran dan pengakuankita,
usaha kita untuk memahami dan menerimanya secara wajar.
Beberapa
Karakteristik bahasa sastra yang dikemukakan beberapa orang berikut akan
sedikit disinggung. Bahasa sastra mungkin dicirikan sebagai bahasa (yang
mengandung unsur) emotif dan bersifat konotatif sebagai kebalikan bahasa
nonsastra, khususnya bahasa ilmiah, yang rasional dan denotatif. Namun, untuk pencurian
itu tampaknya masih memerlukan penjelasan (Wellek & Warren, 1989 : 15).
Ciri adanya unsur “pikiran” bukan hanya monopoli bahasa sastra. Unsur pikiran
dan perasaan akan sama-sama terlihat dalam berbagai ragam penggunaan bahasa.Demikian
pula halnya dengan makna denotatif dan konotatif. Bahasa sastra tidak mungkin
secara mutlak menunjuk pada makna konotatif tanpa melibatkan sama sekali makna
denotatif. Penuturan yang demikian akan tidak memberi peluang kepada pembaca
untuk dapat memahaminya. Pemahaman pembaca, Bagaimana pun, akan mengacu dan
berangkat dari makna denotatif, atau paling tidak makna itu akan dijadikan dasar
pijakan. Sebaliknya, makna konotatif pun banyak dijumpai dan dipergunakan dalam
penggunaan bahasa yang lain yang tidak tergolong bahasa karya kreatif.Misalnya,
penggunaan bentuk-bentuk tertentu metafor dalam bahasa bukan sastra yang justru
dapat memperjelas makna yang dimaksud daripada bahasa yang lugas. Dengan
demikian, berdasarkan pencurian ini, yang ada adalah masalah kadar, kadar emosi
dan makna konotasi pada bahasa sastra lebih dominan daripada nonsastra. Hal itu
disebabkan pengungkapan dalam sastra mempunyai tujuan estetik di samping sering
menuturkan sesuatu dengan cara tidak langsung. Namun, tentu saja, bukan hanya
unsur emosi dan makna konotasi semata yang menjadi Karakteristik bahasa sastra.
Kaum formalisme
Rusia beranggapan bahwa bahasa sastra adalah bahasa yang mempunyai ciri
deotomatisasi, penyimpangan dan cara-cara penuturan yang bersifat otomatis, rutin,
biasa dan wajar. Penuturan dalam sastra selalu diusahakan dengan cara lain,
cara baru, cara yang belum (pernah) dipergunakan orang. Sastra mengutamakan keaslian
Pengucapan, dan untuk memperoleh cara itu mungkin sampai pada penggunaan
berbagai bentuk penyimpangan, deviasi (deviation) kebahasaan. Unsur kebaruan
dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai sebuah karya.
Kaum Formalis berpendapat
bahwa adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar itu merupakan proses sastra
yang mendasar (Teeuw,1984:131).Penyimpangan dalam bahasa sastra dapat dilihat
secara sinkronik, yang berupa penyimpangan dari bahasa sehari-hari, dan secara
diakronik yang berupa penyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Unsur
kebahasaan yang disimpangi itu sendiri dapat bermacam-macam. Penyimpangan ini
misalnya penyimpangan makna, leksikal, struktur, dialek, grafologi dan
lain-lain (lihat Leech,1967 A Linguistik Guide to English Poetry).
Pengarang melakukan penyimpangan kebahasaan, tentunya bukan semata-mata
bertujuan ingin aneh, lain daripada yang lain, melainkan dimaksudkan untuk
memperoleh efek keindahan yang lain di samping juga ingin mengedepankan,
mengaktualkan (foreground) sesuatu yang dituturkan.
Kebebasan
menyimpang bahasa sastra bukannya tak terbatas. Bahasa adalah sebuah sistem
tanda yang telah mengkovensi. Penyimpangan secara ekstrem terhadap bahasa yang
bersangkutan akan berakibat tak dapat dipahaminya karya yang bersangkutan,
sesuatu yang akan dikomunikasikan. Fungsi komunikatif bahasa hanya akan efektif
jika sebuah penuturan masih tunduk dan memanfaatkan konvensi bahasa itu
betapapun kadarnya. Namun, perlu dicatat bahwa yang membedakan sebuah karya itu
menjadi sastra, fiksi atau puisi dengan yang bukan sastra, pertama-tama tidak
dicirikan oleh unsur kebahasaannya. Pembedaan itu lebih ditentukan oleh
konvensi (konvensi kesastraan), konteks, dan bahkan harapan pembaca. Hal itu
berarti bahwa sebenarnya hal-hal tersebutlah yang menciri apakah sebuah
(penuturan) bahasa dapat digolongkan ke dalam sastra atau bukan.Pratt (1977,
lewat Teeuw, 1984:82-3) mengemukakan bahwa masalah keliterean tidak ditentukan
oleh ciri khas pemakaian bahasa, melainkan oleh ciri khas situasi pemakaian
bahasa tersebut.
Stile (Style,gaya bahasa) adalah cara pengucapan bahasa
dalam prosa, atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan
dikemukakan (Abrams, 1981:190-1). Stile ditandai oleh ciri-ciri formal
kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa
figurative, penggunaan kohesi dan lain-lain.
Menurut Leech & Short (!981:10) Stile adalah suatu hal
yang pada umumnya tidak lagi mengandung sifat kontroversial, menyaran pada
pengertian cara penggunaan bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang
tertentu, untuk tujuan tertentu dan sebagainya. Stile bisa bermacam-maca
sifatnya, tergantung konteks di mana dipergunakan selera pengarang, namun juga
tergantung apa tujuan penuturan itu sendiri.
Stilistika menyaran pada pengertian studi tentang stile
(Leech and Short, 1981:13) kajian terhadap wujud performansi kebahasaan,
khususnya yang terdapat di dalam karya sastra. Kajian stilistika itu sendiri
sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tak
terbatas pada sastra saja (Chapman,1973:13). Namun biasanya stilistika lebih
sering dikaitkan dengan bahasa sastra. Analisis stilistika biasanya dimaksudkan
untuk menerangkan sesuatu, yang pada umumnya dalam dunia kesastraan untuk
menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistic dan maknanya (Leech
& Short,1981:13; Wellek & Warren,1956:180). Selain itu ia dapat juga
bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang
dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan, dan bagaimana pengarang
mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus
(Chapman,1973:15).
Pemilihan bentuk ungkapan tertentu dalam suasana cerita yang
tertentu akan membangkitkan nada yang tertentu pula. Nada (tone), nada
pengarang (authorial tone), dalam pengertian yang luas diartikan sebagai
pendirian atau sikap yang diambil pengarang (tersirat, implied author) terhadap
pembaca dan terhadap (sebagian) masalah yang dikemukakan (Leech & Short,
1981: 280). Kenny (1996: 69) juga telah mengemukakan bahwa nada merupakan
ekspresi sikap, sikap pengarang terhadap masalah yang dikemukakan terhadap
pembaca. Dalam bahasa lisan, nada dapat dikenali melalui intonasi ucapan,
misalnya nada rendah dan lemah lembut, santai, meninggi dan sengit, dan
sebagainya. Dalam bahasa tulis, di pihak lain, nada akan sangat ditentukan oleh
kualitas stile. Oleh karena itu, Kenny mengemukakan bahwa stile adalah sarana,
sedangkan nada adalah tujuan. Salah satu konstribusi penting dari stile adalah
untuk membangkitkan nada (Kenny, 1966: 57). Ungkapan kebahsaan yang
mempergunakan pola-pola intonasi tertentu dalam bentuk kalimat-kalaimat
tertentu akan sanggup membangkitkan kesan nada yang tertentu pula (Fowler,
1977: 63).
Leech dan Short (1981: 75-80)
mengemukakan bahwa unsur stile (ia memakai istilah stylistic categories)
terdiri dari unsur (kategori) leksikal, gramatikal, figures of specch, dan
konteks dan kohesi. Analisis unsur stile, misalnya dilakukan dengan
mengidentifikasi masing-masing unsur dengan tanpa mengabaikan konteks,
menghitung frekuensi kemunculannya, menjumlahkan, dan kemudian menafsirkan dan
mendeskripsikan kontribusinya bagi stile karya fiksi secara keseluruhan.
Unsur Leksikalyang dimaksud sama
pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata
tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Masalah pemilihan kata, menurut
Chapman (1973:61) dapat melalui pertimbangan-pertimbangan formal tertentu,
yaitu a). Pertimbangan fonologis, misalnya untuk kepentingan alitrasi,
irama, dan efek bunyitertentu, khusunya dalam karya puisi. b). Pertimbangan dari segi mode, bentuk, dan makna yang
dipergunakan sebagai sarana mengkonsentrasikan gagasan.Pilihan kata juga
berhubungan dengan masalah sintagmatik dan paradigmatik. Sintagmatik berkaitan
dengan hubungan antarkata secara linier untuk membentuk sebuah kalimat.
Sedangkan paradigmatik berkaitan dengan pilihan kata diantara sejumlah kata
yang berhubungan secara makna.
Unsur Gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian struktur kalimat.
Dalam kegiatan komunikasi bahasa, juga jika dilihat dari kepentingan stile,
kalimat lebih penting dan bermakna daripada sekedar kata walaukegayaan kalimat
dalam banyak hal juga banyak dipengaruhi oleh pilihan katanya. Sebuah gagasan,
pesan dapat diungkapkan ke dalam berbagai bentuk kalimat yang berbeda-beda
struktur dan kosa katanya. Dalam
kalimat, kata-kata berhubungan dan berurutan secara linier yang kemudian dikenal
dengan sebutan sintagmatik.Untuk menjadi sebuah kalimat, hubungan sintagmatik
kata-kata haruslah gramatikal, sesuai dengan sistem kaidah yang berlaku dalam
bahasa yang bersangkutan. Secara teoretis, jumlah kata yang berhubungan secara
sintagmatik dalam sebuah kalimat tak terbatas, dapat berapa saja sehingga dapat
panjang sekali. Secara formal, memang tidak ada batas berapa jumlah kata yang
seharusnya dalam sebuah kalimat (Chapman, 1973:45).Menentukan apakah sebuah
kalimat itu menyimpang atau tidak kadang-kadang tidak mudah dilakukan, atau
paling tidak orang bisa berbeda pendapat. Penentuan ada tidaknya bentuk deviasi
tidak selamanya dapat diukur dari penyimpangannya terhadap aturan yang baku
dalam bahasa Indonesia berupa kalimat baku atau tata bahasa baku. Ada tidaknya
penyimpangan struktur kalimat merupakan salah satu unsur yang dapat dikaji jika
bermaksud menganalisis insur gramatikal. Dari kerja analisis maka akan didapat
berbagai kategori bentuk penyimpangan struktur, frekuensi, bentuk yang dominan,
dan akhirnya akan dapat diinterpretasikan apa fungsi dan sumbangannya terhadap
estetis penuturan. Kegiatan analisis kalimat antara lain, (1) kompleksitas
kalimat, (2) jenis kalimat, dan (3) jenis klausa dan frasa.Penggunaan
bentuk struktur kalimat tertentu apakah mempunyai efek tertentu bagi karya yang
bersangkutan, baik efek yang bersifat estetis maupun dalam hal penyampaian pesan. Apakah struktur kalimat itu lebih memperjelas makna yang
ingin disampaikan, adakah penekanan terhadap makna tertentu, dan sebagainya.
Unsur Retorika merupakan suatu cara
penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis. Ia dapat diperoleh melalui
kreativitas pengungkapan bahasa, yaitu bagaimana pengarang menyiasati bahasa
sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya. Pengungkapan bahasa dalam sastra
mencerminkan sikap dan perasaan pengarang, namun sekaligus dimaksudkan untuk
mempengaruhi sikap dan perasaan pembaca yang tercermin dalam nada.Retorika
berkaitan dengan pendayagunaan semua unsur bahasa, baik yang menyangkut masalah
pilihan kata dan ungkapan, struktur kalimat, segmentasi, penyusunan dan
penggunaan bahasa kias, pemanfaatan bentuk citraan, dan lain-lain yang semuanya
disesuaikan dengan situasi dan tujuan penuturan.Unsur stile yang berwujud
retorika, seperti yang dikemukakan Abrams (1981:193) meliputi penggunaan bahasa
figuratif (figurative language) dan wujud pencitraan (imagery). Bahasa
figuratif menurut Abrams (1981:63) dapat dibedakan ke dalam (1) figures
of thought atau tropes, dan (2) figures of speech, rhetorical
figures, atau schemes. Yang pertama menyaran pada penggunaan
unsur kebahasaan yang menyimpang dari makna yang harfiah dan lebih menyaran
pada makna literal (literal meaning). Jadi pada pembahasan ini lebih
mempersoalkan pengungkapan dengan cara kias (pemajasan). Yang kedua lebih
menunujuk pada masalah pengurutan kata, masalah permainan struktur. Jadi pada
pembahasan ini lebih mempersoalkan cara penstrukturan (penyiasatan struktur).
Unsur Kohesi Keutuhan yaitu hubungan antar bagian kalimat yang satu dengan
bagian yang lain atau kalimat yang satu dengan yang lain. Sehingga dalam satu
teks terdapat hubungan esensial yang mengaitkan makna-makna. Hubungan
eksplisit yang ditandai dengan kata penghubung dan hubungan implisit yang
ditandai dengan simpulan dari pembaca.Penanda kohesi yaitu a. Kata“dan,
kemudian, sedang, tetapi, namun, melainkan, bahwa, sebab, jika, maka”Kelompok
kata“dengan demikian, akan tetapi, oleh karena, di samping itu.”Kohesi juga
mengenal prinsip ruductionyaitu memungkinkan kita untuk menyingkat apa
yang aan disebut kembali atau untuk menghindari pengulangan bentuk yang sama.
PENUTUP
Kesimpulan, Bahasa dalam unsur fiksi merupakan upaya untuk
mengefektifitaskan kata dan kalimat untuk membuat ungkapan yang berbeda dengan
bahasa nonsastra. Leech dan Short (1981: 75-80) mengemukakan bahwa unsur stile
(ia memakai istilah stylistic categories) terdiri dari unsur (kategori)
leksikal, gramatikal, figures of specch, dan konteks dan kohesi.a). Unsur leksikal yang dimaksud sama
pengertiannya dengan diksi, yaitu mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata
tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. b). Unsur gramatikal yang dimaksud menyaran pada pengertian
struktur kalimat. c). Retorika
merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis.Unsur
retorika meliputi pemajasan, penyiasatan struktur, dan pencitraan. Adapun
penyiasatan struktur melalui gaya repetisi, paralelisme, aliterasi, dan
pertanyaan retoris sangat menentukan dan merupakan faktor penting dalam
memunculkan efek estetis. d). Kohesi /
Keutuhan yaitu hubungan antar bagian kalimat yang satu dengan bagian yang
lain atau kalimat yang satu dengan yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Fowler, Roger. 1977. Linguistics and The Novel. London: Methuen and Co Ltd.
Leech, 1991, A
Linguistik Guide to English Poetry.
Luxemburg, Jan Van, Mieke Bal, dan Willem G. Weststeijn. 1992. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia (Terjemahan Dick Hartoko).
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1956. Theory of Literatur. New York: Harcourt, Brace & World, Inc. (Terjemahan dalam Bahasa Indonesia Oleh Melani Budiyanto. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.