GANGGUAN BERBAHASA PADA TUNA WICARA

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan matakuliah

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Dosen pengampu Zulva SudartiS.Pd., M.Pd.



 

Oleh :

Putri Fajar Aulia

191010700413

  

UNIVERSITAS PAMULANG

Fakultas Bahasa dan Sastra Indonesia

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

2021

GANGGUAN BERBAHASA PADA TUNA WICARA

 

Putri Fajar Aulia

Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pamulang

aauliaputri875@gmail.com

ABSTRAK 

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pembaca terhadapkualitas berbicara dan berbahasa dengan metode kualitatif dan eksperimen.Sebagaimana yang sudah dibahas dan dijelaskan sebelumnya terkait gangguanberbahasa pada tuna wicara.Subjek dalam penelitian ini adalah orang-orangyang merasa susah dalam berbicara dan mengalami gangguandalam berbahasa seperti tuna wicara dan selaku saya sebagai mahasiswi dari Universitas Pamulang yang ingin mencobamenjelaskan tentang ganggun berbahasa ini pada tuna wicara.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat banyak orang yang masih susah dalam berbicara danbergangguan bahasa mulai dari anak-anak sampai orang dewasa, peningkatan gangguan Berbahasa ini disebabkan olehkemampuan, seseorang dalam berbahasa baik bunyi dan bahasa itu sendiri, gangguan berbahasa dapat memengaruhi seseorang dalam aspek berbicara.

Kata kunci:Penerapan, Eksperimen, Tuna Wicara.

 

PENDAHULUAN

Komunikasi, bahasa dan tutur merupakan sebuah mata rantai yang bersambungan. Komunikasi mencakup bahasa dan bahasa salah satunya meliputi tutur.Komunikasi merupakan sarana pertukaran informasi antara dua individu. Bahasa merupakan salah satu jenis komunikasi, namun bukan satu-satunya. Misalnya fungsi lampu lalu lintas yang mengkomunikasikan intruksi dari bentuk simbol yang tidak menitikberatkan bahasa. Disini yang diperlukan adalah pengetahuan setiap orang tentang sistemnya agar mewaspadai lampu merah yang berarti berhenti dan lampu hijau yang menandakan jalan terus.

Manusia mampu menyampaikan gagasan dan perasaan dengan beberapa cara, umpamanya gerakan tangan, ekspresi wajah, bahasa tubuh, anggukan, senyum dan kedipan. Inilah yang disebut teknik paralinguistik yang tidak membutuhkan vokalisasi. Adapula alat komunikasi non-linguistik, misalnya, isak tangis, bersin, dengus, dan hela nafas. Suara-suara ini disebut alat komunikasi jika produsennya bermaksud menyampaikan pesan tertentu (Field, 2002). Dengkur,meskipun berdasarkan suara, bukan merupakan alat komunikasi karena ketidaksengajaan, ketiadaan kontrol penggunanya. Sebaliknya tawa dan tangis yang biasanya terjadi serta merta tidak dapat disebut kesengajaan.

Kesengajaan menjadi ciri penting yang membedakannya dengan komunikasi binatang.Sesuai dengan definisi komunikasi sebagai sarana pertukaran informasi, terdapat beberapa elemen penting komunikasi yaitu1). pengirim informasi.2). penerima informasi.3). isi informasimisalnya: kesadaran mengenai kebutuhanatau gagasan seseorang maksud komunikasimisalnya: hasrat atau kebutuhanuntuk mempengaruhi orang lain, mengubah perilaku.4). emosi atau ide orang lain.5). media pertukaran informasi antar individu.

Kelima elemen di atas merupakan prasyarat terjadinya komunikasi. Namun demikian, dalam kenyataannya tidak semua elemen komunikasi dapat terpenuhi, misalnya pada model komunikasi penyandang gangguan berbahasa. Sebagai contoh, model komunikasi pada penyandang autisme dan Asperger syndrome akan muncul kecenderungan penghilangan satu atau lebih elemen komunikasi sebagaimana yang dijelaskan di atas (Bogdashina, 2005). Pembahasan mengenai sebab dan akibat dari hilangnya elemen komunikasi tersebutterdapat pada bab selanjutnya.Komunikasi memiliki fungsi yang beragam. Ditinjau dari fungsinya, terdapat tiga kategori utamakomunikasi yaitu: 1). Instrumental (non-sosial), yaitu komunikasi untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Misalnya: meminta suatu benda atau perbuatan (‘Tolong ambilkan pulpen itu’), menolak sesuatu. 2). Sosial yaitu komunikasi untuk mempengaruhi kondisi mental. Misalnya: menarik atau mengarahkanperhatian pada dirinya, pada suatu benda atau pada suatu perbuatan atau hal (‘Wah sayang sekali cuaca besok diperkirakan kurang bersahabat’). 3). Ekspresif yaitu komunikasi untuk mengekspresikankondisi mentalnya sendiri. Misalnya: memberikan komentar (‘Menurutku itu seperti pungguk merindukan bulan’).

Pada hakikatnya berbahasa merupakan suatu kegiatan alamiah yang sama halnya dengan bernapas yang kita tidak memikirkannya. Akan tetapi, bila kita pikirkan seandainya kita tidak berbahasa, dan kita tidak melakukan tindak berbahasa, maka identitas kita sebagai “genus manusia” (homosapiens) akan hilang karena bahasa mencerminkan “kemanusiaan”. Yang paling membedakan kita dari makhluk lain ialah bahwa kita mempunyai bahasa.Di atas telah dijelaskan bahwa bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang membedakan bahasa dari bentuk komunikasi lainnya meliputi empat hal berikut: 1). Bahasa bersifat sengaja dan dibawah kendali individu. 2). Bahasa bersifat simbolis, merujuk pada hal lainselainnya.

 

PEMBAHASAN 

Menurut Kridalaksana dalam Kamus LinguistikEdisi Keempat (2008: 260), wicara adalah kontinum bunyi bahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi. Istilah ini menekankan aspek bunyi bahasa lisan; jadi berbeda dari ujaran yang merupakan perpaduan bunyi dan makna. Masih dalam buku yang sama, Kridalaksana membagi wicara menjadi tiga, yakni wicara buatan, wicara egosentri, dan wicara esofagus. Wicara buatan adalah produksi bunyi manusia dengan alat-alat buatan. Wicara egosentris adalah wicara yang tidak mempertimbangkan kebutuhan pendengar. Wicara esophagus adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan udara lewat kerongkongan; dipakai oleh orang yang laringnya telah dibedah.

Kaitan wicara dan bahasa ibarat dua sisi mata uang yang tida dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, pada bab ini salah satu bahasan yang penting untuk diulas adalah bahasa dan wicara. Bahasa dibagi menjadi dua bagian yang disebut reseptif atau pemahaman dan ekspretif atau pengungkapan secara verbal.

Bahasa reseptif (pemahaman) misalnya dengan menanyakan “mana hidung?” atau konsep dasar lainnya sesuai dengan usia anak. Kemampuan ekspretif (berkata) misalnya dengan menanyakan “ini apa?” dan anak menjawab pertanyaan sesuai dengan usia. Pemahaman terhadap patokanpatokan perkembangan maupun tingkatan dari bahasa dan wicara akan sangat membantu Terapis Wicara dalam menganalisis kemampuan anak dari berbagai macam sisinya.

Berikut ini adalah beberapa macam patokan-patokan dasar yang dapat dipakai untuk hal tersebut.Tahapan bahasa (Level of Language) Tahapan bahasa terbagi menjadi: Phonology (bahasa bunyi): Semantics (kata), Morphology (perubahan pada kata),Syntax (kalimat), Discourse (Pemakaian Bahasa dalam konteks yang lebih luas),Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa) dan Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial). Selain hal di atas, bagi anak-anak yang sudah mulai berbicara, dapat dilakukan pengambilan sample dari percakapan yang sudah dapat dilakukan oleh anak (Clinical Language Oral Sampling). Prosedur ini kurang lebih dilakukan dengan merekan percakapan anak dan menuliskan hasilnya pada kertas sebelum menganalisis bentuk kalimat dan tatabahasa yang dipergunakan oleh anak.

Panjang kalimat rata-rata Mean Length of Utterance (MLU) juga dapat ditentukan dari sample berbicara anak karena dapat memberikan informasi penting tentang perkembangan bahasanya, dan menjadi salah satu indikasi bila ada keterlambatan ataupun gangguan dalam berbicara. Bantuan dan terapi yang dapat diberikan adalah aktivitas-aktivitas yang menyangkut tahapan bahasa 1). Phonology (bahasa bunyi). 2). Semantics (kata), termasuk pengembangan kosa kata. 3). Morphology (perubahan pada kata). 4). Syatax (kalimat), termasuk tatabahasa. 5). Discourse (Pemakaian bahasa dalam konteks yang lebih luas). 6). Metalinguistics (Bagaimana cara bekerjanya suatu Bahasa). 7). Pragmatics (Bahasa dalam konteks sosial).

Selain hal di atas, suara pun sangat berpengaruh dalam proses berbahasa dalam wicara. Kelainan pada suara diklasifikasikan menurut etiologi atau simptom. Etiologi adalah penyebab dari timbulnya keadaan tersebut, yang dibagi menjadi organik atau fungsional. Kelainan organik adalah kelainan yang diketahui penyebabnya secara fisik, (misalnya, paralisis dari pita suara). Kelainan fungsional, kemungkinan terjadi karena adanya perubahan pada fisik, tetapi tidak diketahui etiologinya secara fisik.Bila kelainan pada suara disebabkan atau yang disebut dengan kelainan organik, Terapis Wicara akan merujuk kepada dokter yang wewenang.

Karakteristik dari suara sendiri dapat dibagi menjadi nada (pitch) biasanya. dari rendah ke tinggi; kualitas (Quality), misalnya serak; kekerasan (loudness), suara yang terlalu keras atau terlalu pelan; resonansi (resonance). Misalnya, sengau. Bantuan dan Terapi yang dapat diberikan. Terapi Suara (Voice Therapy): Permasalahan pada Nada, volume, kualitas yang dapat dibantu dengan Facilitation Technique.

Walaupun secara profesional adalah wewenang dari ahli THT atau audiologist, guru atau pendidik melihatnya dari sisi di mana gangguan pendengaran berdampak pada perkembangan berkomunikasi dan perkembangan akademis. Dapatkan evaluasi formal untuk pendengaran dari dokter terkait. Bila anak berada dalam masa perkembangan, sebaiknya sebelum terapi dimulai maka secara formal telah dievaluasi untuk mengetahui bahwa tidak ada masalah dari sisi pendengaran. Hal ini disebabkan adanya beberapa suara atau  konsonan yang pengucapannya berada pada decibel dan frekuensi yang terdengar rendah. Bantuan dan Terapi yang dapat diberikan 1). Alat bantu ataupun lainnya yang bersifat medis akan dirujuk pada dokter yang terkait. 2). Terapi; penggunaan sensori lainnya untuk membantu komunikasi; dengan demikian, Evaluasi Awal akan lebih memperjelas apa saja yang mungkin menjadi penghambat kemampuan anak untuk dapat berbicara lebih cepat dan bantuan atau  rujukan apa lagi yang diperlukan untuk melengkapi informasi dasar mengenai anak untuk nantinya membantu perencanaan dalam penatalaksana program atau  rencana terapi atau  pengajaran.

Sejarah singkat tentang gangguan belajar dan gangguan berbahasa telah ditemukan sejak abad ke-19 di Eropa. Para ahli medis meneliti hubungan antara cedera otak dengan ketidakmampuan belajar dan berbahasa. Pada periode 1920-1960-an, psikolog dan pengajar mulai mengidentifikasi dan memasukan ketidakmampuan tersebut ke dalam ranah pendidikan, melalui bahasa, persepsi dan pendekatan gerak. 

Pada tahun 1963, seorang psikolog ternama, Samuel Kirk, membuat pernyataan bahwa, anak yang menunjukkan banyak kekurangan (khususnya masalah persepsi, kesulitan belajar dan perilaku hiperaktif), dapat diasumsikan berhubungan dengan disfungsi neurologis. Kirk kemudian mulai menggunakan istilah “Ketidakmampuan-ketidakmampuan Belajar (Learning Disabilities atau  LD)” yang menurutnya lebih tepat, serta dapat mendorong dilakukannya pemeriksaan dan penanganan, yang diperlukan anak. Definisi Samuel Kirk tentang ketidakmampuan belajar ini kemudian menjadi tonggak berbagai ranah bidang yang kita pelajari dewasa ini. 

Periode berikutnya, berbagai konsep ketidakmampuan belajar mulai muncul dan beberapa ahli menawarkan beberapa definisi. Pada periode ini, banyak anjuran kepada orangtua dan para pengajar.  Pemerintah pun mulai membuat peraturan dan memfokuskan pada penelitian yang lebih valid, misalnya pada memori. Kemudian, antara tahun 1985-2000 terjadi peningkatan jumlah siswa yang mengalami LD secara dramatis. Penelitian tentang penyebab, penanganan, dan berbagai pertanyaan tentang definisi dan pengajaran khusus pun meningkat.

Menurut bidang studinya, gangguan berbahasa berhubungan, tetapi juga secara independen terpisah dari gangguan belajar. Secara khas, berarti kesulitan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Pada zaman dahulu, hal ini sering disebut dengan aphasia, yang berarti ketidakmampuan berbahasa karena tidak bekerjanya atau terjadinya kerusakan otak.  Tiga kriteria gangguan berbahasa, yakni 1). Pengucapan bunyi (fonologi). 2). Menyatakan (ekspresif).3).Menerima dan menyatakan (reseptif-ekspresif).

Anak dengan gangguan berbahasa secara umum menunjukkan kelemahan atau  kekurangan kognitif ringan, tetapi beberapa kekurangan lain  mungkin juga bisa menjadi penyebabnya. Gangguan berbahasa dapat dikategorikan menjadi  beberapa, antara lain1). Gangguan Pengucapan Bunyi (fonologi), anak dengan gangguan ini memiliki kesulitan mengartikulasikan bunyi dalam percakapan. Mereka mengucapkan bunyi yang tidak pas, mengganti pengucapan yang mudah dengan yang lebih sulit atau mengabaikan bunyinya. Banyak anak menunjukkan beberapa kesalahan artikulasi dalam percakapan, dan mengetahui tahapan perkembangan anak, dapat menjadi alat diagnosis yang paling utama. 2). Gangguan Menyatakan Bahasa (Ekspresif), penderita gangguan ini mengalami kesulitan berbahasa terutama dalam kosakata, tata bahasa dan berbagai aspek bahasa. Penderita yang lebih muda, Nampak sedikit sekali berbicara dan berbicara dengan sangat singkat. Kosakata sedikit, bagian terpenting dari kalimat hilang dan kata yang janggal mungkin muncul. Permasalahan khusus pada penderita mungkin adalah munculnya banyak kesalahan memaknai bentuk kalimat seperti bentuk jamak atau kalimat kerja. Pengucapan kata mungkin juga perlu diperhatikan. Walaupun demikian, penderita kesulitan menyatakan bahasa (ekspresif) ini. Pada dasarnya, dapat memahami percakapan sesuai tingkatan usia sehingga mereka dapat merespons pembicaraan orang lain. 3). Gangguan Menerima dan Menyatakan (Reseptif-Ekspresif), gangguan ini meliputi kesulitan-kesulitan memahami komunikasi orang lain. Kalimat tunggal, frasa, kalimat dan kata yang bermakna banyak, atau bentuk lampau, menjadi persoalan bagi penderitanya. Anak mungkin akan gagal merespons percakapan, nampak seperti tuli, menaggapi percakapan orang lain secara tidak sesuai, atau menjadi tidak tertarik dengan televisi. 

Berbahasa berarti berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Anak-anak yang lahir dengan alat artikulasi dan auditori yang normal akan dapat mendengar kata-kata melalui telinganya dengan baik dan juga akan dapat menirukan kata-kata itu. Untuk dapat berbahasa diperlukan kemampuan mengeluarkan kata-kata. Ini berarti, daerah Broca (gudang tempat menyimpan sandi ekspresi kata-kata dalam otak) harus berfungsi dengan baik. Kerusakan pada daerah tersebut dan sekitarnya menyebabkan terjadinya gangguan bahasa yang disebut afasia.

Afasia ini dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik  dan afasia reseptif atau afasia sensorik. 1). Afasia Motorik, didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain: a. fasia motorik kortikal adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan, namun ekspresi verbal tidak bisa sama sekali. b. Afasia motoriksubkortikal terjadi karena kerusakan bagian bawah Broca. Penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih bisa berekspresi verbal dengan membeo. c. Afasiamotoriktranskortikal terjadi karena hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa yang terganggu. Penderitanya dapat mengutarakan perkataan, namun hanya singkat dengan perkataan subtitusinya. 2). Afasia Sensori, kerusakan ini terjadi karena bukan saja pengertian dari apa yang didengar terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat ikut terganggu. 


PENUTUP

 

Kesimpulan, Kaitan wicara dan bahasa ibarat dua sisi mata uang yang tida dapat dipisahkan. Oleh sebab itu, pada bab ini salah satu bahasan yang penting untuk diulas adalah bahasa dan wicara. Bahasa dibagi menjadi dua bagian yang disebut pemahaman(reseptif) danpengungkapan(ekspretif) secara verbal.Menurut bidang studinya, gangguan berbahasa berhubungan, tetapi juga secara independen terpisah dari gangguan belajar. Secara khas, berarti kesulitan dalam membaca, menulis, dan berhitung. Pada zaman dahulu, hal ini sering disebut dengan aphasia, yang berarti ketidakmampuan berbahasa karena tidak bekerjanya atau terjadinya kerusakan otak. Tiga kriteria gangguan berbahasa, yakni pengucapan bunyi (fonologi), menyatakan (ekspresif), menerima dan menyatakan (reseptif-ekspresif). Anak dengan gangguan berbahasa secara umum menunjukkan kelemahan atau  kekurangan kognitif ringan, tetapi beberapa kekurangan lain  mungkin juga bisa menjadi penyebabnya.

 

 

REFRENSI

 

Field, J. (2002). The changing face of listeningMethodology in language teaching: An anthology of current practice, 242-247.

Bogdashina, O. (2005). Theory of Mind and the Triad of Perspectives on Autism and Asperger Syndrome, a View from the Bridge. Jessica Kingsley Publishers, London.

Kridalaksana, H. (2008). Kamus Linguistik Edisi Keempat. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama.

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama