Putri
Fajar Aulia
Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas
Pamulang
Email:
aauliaputri875@gmail.com
ABSTRAK
Penelitian
ini dilakukan untuk mengetahui Bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat
berdasarkan tingkat penuturnya. Dalam Bahasa Jawa terdapat unggah-ungguh yang
digunakan oleh masyarakat sebagai pedoman dalam bertutur kata. Secara garis
besar, Bahasa Jawa memiliki tingkatan yakni ngoko, madya dan krama. Setiap
tingkatan memiliki fungsi yang berbeda berdasarkan situasi dan kondisi yang
berlangsung dalam masyarakat. Metode yang digunakan ialah metode deskriptif.
Simpulan dari penelitian ini adalah Penggunaan tingkat tutur ditentukan oleh
faktor usia, status sosial, kekerabatan, darah kebangsawanan, pendidikan dan
konteks percakapan. Ragam Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yakni Bahasa Jawa
ragam ngoko dan Bahasa Jawa ragam krama. Ragam ngoko terbagi lagi menjadi dua
yakni ngoko alus dan ngoko lugu sedangkan ragam krama terbagi menjadi krama
alus dan krama lugu.
Kata kunci: Bahasa Jawa, unggah-ungguh, tingkat tutur, ragam ngoko, ragam krama.
Abstract
This
research was conducted to determine the Javanese language used by the community
based on the level of speakers. In Javanese there is uploading which is used by
the community as a guide in speaking words. Broadly speaking, Javanese has
levels, namely ngoko, middle and manners. Each level has a different function
based on the situation and conditions that take place in society. The method
used is descriptive method. The conclusion of this research is the use of
speech level is determined by factors of age, social status, kinship, royal
blood, education and conversation context. Variety of Javanese language is
divided into two namely Javanese Ngoko variety and Javanese manners. The
variety of ngoko is divided into two namely aloko ngoko and naive ngoko while
the various types of manners are divided into alus manners and innocent
manners.
Keywords
: Javanese, really, level of speech, variety of ngoko, various manners.
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki karakteristik
masyarakat yang majemuk karena memiliki berbagai suku bangsa dengan berbagai
macam ragam dialek dan bahasa yang berdampingan dengan bahasa persatuan yakni
baha indonesia. Bahasa merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia (Saddhono dkk., 2010). Setiap masyarakat memilih dan
menggunakan kode atau bahasa sebagai sarana berinteraksi. Masyarakat yang dapat
menggunakan lebih dari satu kode disebut sebagai masyarakat bilingual.
Penggunaan dua bahasa atau lebih dalam alih kode ditandai oleh masing-masing
bahasa yang mendukung fungsi tersendiri sesuai dengan konteks (Anis, 2016).
Mengacu pada haltersebut masyarakat indonesia merupakan masyarakat diglosia
yakni masyarakat yang memiliki dua kode untuk menunjukkan perbedaan, satu kode
diterapkan pada satu situasi tertentu sedangkan kode yang lain digunakan pada
kondisi yang berbeda. Pilihan bahasa yang digunakan oleh masyarakat
multilingual ditentukan oleh berbagai faktor dan memiliki makna sosial tertentu
(Saddhono, 2007). Ekspresi dalam wujud tindakan berbahasa/ berbicara (baik dalam
bentuk kalimat, klausa, frasa, atau kata) dianggap sebagai suatu tindakan.
Tindakan itu dapat disebut tindakan berbicara, tindakan berujar atau tindak
bertutur. Istilah yang lazim dipakai untuk mengacu tindakan itu ialah tindak
tutur. Tindak tutur adalah tindakan yang diwujudkan dalam bentuk ujaran atau
hlturanyang ditujukan kepada mitra tutur (Kurniati, 2010). Di dalam penggunaan
bahasa Jawa juga ditemukan adanya pemanfaatan bentuk tindak.
Bahasa Jawa merupakan bahasa ibu bagi
orang jawa yang tinggal di daerah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
Bahasa jawa juga digunakan di daerah-daerah transmigrasi karena sebagian
masyarakat jawa bermigrasi ke daerah lain dan Bahasa Jawa sebagai bahasa
minoritas. Dialek bahasa jawa didasarkan geografis seperti Yogya, Solo, Tegal,
Banyumas dan Surabaya yang masing-masing dialek memiliki ciri khas sendiri.
Bahasa Jawa dituturkan oleh masyarakat Indonesia terutama di pulau Jawa bagian
tengah dan timur. Namun, di pulau-pulau yang lainnya juga terdapat penutur
bahasa Jawa (Partana, 2010). Selain dialek, dalam Bahasa Jawa juga terdapat
ragam bahasa formal dan informal dengan bentuk fonologi, mrfologi, sintaksis
dan leksikon yang berbeda-beda. Ragam bahasa jawa tersebut tercermin dalam
tingkat tutur yang kompleks dalam penggunaannya. Tingkat tutur ialah variasi
bahasa yang memiliki perbedaan antara penutur satu dengan penutur lain yang
ditentukan oleh perbedaan kesopanan penutur terhadap lawan tutur (Soepomo,
1975). Orang Jawa mengutamakan unggah-ungguh dalam perilaku mereka sehari-hari
suatu bentuk etika dalam kehidupan sosial Masyarakat Jawa (Laila, 2016).
Secara umum setiap bahasa, termasuk
bahasa Jawa, memperlihatkan ciri keuniversalan sekaligus keunikan
(Mardikantoro, 2012). Bahasa Jawa, bagi masyarakat Jawa, digunakan sebagai alat
komunikasi sehari-hari, baik secara lisan maupun tulis. Selain sebagai alat
komunikasi sehari-hari, Bahasa Jawa, seperti bahasa-bahasa yang lain, juga
dipergunakan untuk menyampaikan tindakan bertutur. Dengan kata lain, di dalam
penggunaan bahasa ]awa juga ditemukan adanya peristiwa tindak tutur (Muhid,
2011).
Di dalam masyarakat mempunyai kultur
yang berbeda dengan masyarakat lain, maka masyarakat itu dalam menggunakan
bahasa juga mengalami perbedaan cara menggunakan bahasanya. Demikian pula di
dalam masyarakat Jawa, pemakaian bahasa Jawa sebagai alat komunikasi diikuti
pula pola budaya yang menjadi ciri masyarakat itu. Pola pengungkapan gagasan
secara kultural tercermin dalam cara penyusunan wacana dalam komunikasi, dan
bagi masyarakat Jawa ada suatu ciri kultural dalam bentuk wacana tak langsung (band. Sujoko, 1999:40).
Pandangan yang berterima di kalangan
pakar pragmatik dan sosiolinguitik saat ini bahwa jika kita berbicara atau
mengeluarkan ujaran (apakah ujaran itu berupa kalimat, frasa, atau kata), apa
yang keluar dari mulut kita itu dapat dianggap sebagai tindakan. Tindakan itu
dapat disebut sebagai tindak berbicara, tindak berujar atau tindak bertutur.
Istilah yang lazim dipakai untuk mengacu ke tindakan itu aial tindak tutur,
yang merupakan terjemahan dari istilah bahasa Inggris speech act
(Gunarwan, 2003:1-2). Tindak tutur adalah tindakan bertutur untuk menyampaikan
maksud ujaran atau tuturan kepada mitra tutur. Tindak tutur dipergunakan untuk
menyampaikan maksud secara tersurat dan tersirat. Tindak tutur yang
disampaikan secara tersurat dapat berbentuk wacana lengkap baik tertulis maupun
lisan. Dengan demikian tindak tutur ini dalam bentuk wacana langsung dan
penyampaian maksud secara langsung (tindak tutur langsung). Maksud yang
tersirat (tak terungkap) di dalam tindak tutur pemahamannya perlu
mempertimbangkan konteks. Hal semacam inilah yang disebut tindak tutur tak
langsung. Tunnen (1996) memberikan istilah metapesan Yang dimaksud
konteks adalah suatu yang sarana pemerjelas maksud. Kontek di sini terdiri dua
macam, yaitu ekspresi dan situasi. Untuk memahami maksud yang tersirat (di
dalam tindak tutur tak langsung) perlu mempertimbangkan situasi tutur, meliputi
aspek situasi.
tutur, pihak yang harus berinferensi, sifat keliteralan tuturan, dan
struktur wacana yang tidak langsung (band. Wijana, 1996:4) dan Leech, 1983:2).
Di dalam tulisan ini merupakan kajian awal pemahaman maksud yang tersirat di
dalam tindak tutur tak langsung bahasa Jawa. Bahasa Jawa dipakai sebagai objek
kajian dengan pertimbangan sebagai berikut. Pertama, bahasa Jawa masih
digunakan sebagai alat komunikasi pada masyarakat tutur Jawa di wilayah
Surakarta, kedua, bahasa Jawa masih berkait erat dengan budaya Jawa yang selalu
mengedepankan prinsip sopan santun berbahasa, ketiga, bahasa bahasa Jawa termasuk bahasa bentuk
pasif atau bentuk ketidaklangsungan (indirectness), karena bentuk itu
dipakai untuk menyatakan kesantunan berbahasa. Lain halnya dengan penggunaan
bentuk aktif atau bentuk langsung yang dirasakan kurang sopan.
METODE
Dalam
melaksanakan penelitian ini digunakan metoder deskriptif yaitu metode penyajian
hasil analisis data yang menggunakan uraian kata-kata yang lengkap yang rinci
dan terurai. Metode deskriptif dipilih sebagai metode penelitian ini karena penyajian
hasil analisis datanya dirumuskan dengan kata-kata biasa atau dengan narasi,
tidak dengan simbol.
Sumber data berasal dari tuturan lisan. Sumber data penelitian ini
memperhatikan tiga elemen yaitu setting, participant, dan event (Spradley :
1979). Data diperoleh dengan cara menyimak, merekam, mencatat percakapan. Untuk
mengetahui keabsahan data, penulis menggunakan teknik triangulasi. Maksudnya
penulis mengecek dan mencocokkan data dengan teori. Untuk mengetahui
reliabilitas data, penulis melakukan pengamatan secara mendalam. Selanjutnya,
dari data yang terkumpul diharapkan diperoleh gambaran keterkaitan antara objek
penelitian, permasalahan penelitian, konteks situasi dan budaya setempat. Data
dianalisis dengan analisis struktur.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Bahasa merupakan alat yang digunakan manusia untuk mengutarakan maksud, keinginan dan perasaan seseorang. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang memiliki sistem tingkat tutur yang penggunaannya disesuaikan dengan mitra tutur (Saddhono, 2013). Bahasa Jawa yang digunakan masyarakat saat bertututr tercermin dalam bentuk kata kerja, kata benda dan kata sifat yang berbeda. Bahasa Jawa adalah salah satu bahasa yang memiliki tingkat tutur yaitu ngoko, krama dan krama inggil (Saddhono, 2004). Penggunaan kata partikel dan kalimat tidak langsung juga ditentukan dalam bertutur. Penggunaan Bahasa Jawa dalam budaya jawa saat bertutur dipengaruhi oleh keakraban, usia dan kesopanan. Selain itu, status sosial seperti jabatan, keadaan ekonomi, faktor pendidikan dan darah kebangsawanan juga diperhatikan. Dialog masyarakat juga mencerminkan tingkat tutur bahasa jawa yang sesuai dengan unggah-ungguh basa jawa (Saddhono, 2018).
Dalam
pengamalannya secara umum sehari-hari, tingkat tutur dalam Bahasa Jawa, dapat
diambil kategori (1) Bahasa Jawa Ngoko, mencerminkan makna tidak berjarak atau
berjarak antara penutur dengan mitra tutur, (2) Bahasa Jawa Krama,mencerminkan
makna penghormatan antara penutur dengan mitra tutur. Bentuk Krama sebagai
wujud bentuk kebahasaan yang mencerminkan rasa hormat masih digunakan sebagai
alat komunikasi dalam masyarakat tutur Jawa, baik secara lisan maupun tulisan
(Pujiyatno, 2007). Ditambahkan oleh Sundari, Bahasa Jawa merupakan warisan
nenek monyang yang sangat adiluhung karena di dalamnya terdapat unggah-ungguh
bahasa yang berfungsi sebagai pembentukan perilaku kehidupan manusia
(Sudaryanto, 1987:3). Masyarakat Jawa juga mengenal idiom ajining dhiri ono ing
lathi, yang melambangkan bahwa orang yang pandai bertutur dan menggunakan unggah
ungguh dalam bertutur maka dia akan lebih dihargai oleh lawan tuturnya
(Rokhman, 2003). Pembicara/orang yang mengajak bicara akan menggunakan tingkat
tutur tertentu dengan mempertimbangkan unggah-ungguh, sehingga terjadilah
kesantunan berbahasa.
Perbedaan
tingkat tutur dapat dilihat dari bentuk bahasa (Poedjasoedarma, 1979 : 67).
Penyebutan kata kerja, kata benda, kata sifat dan pronomina yang berbeda
menunjukkan adanya perbedaan rasa hormat dari penutur bahasa. Penggunaan kata
diri seperti kula, aku dan dalem menunjukkan adanya perbedaan terhadap rasa
hormat dari penutur bahasa yang disesuaikan dengan lawan tuturnya. Penggunaan
kata kerja, kata benda dan kata yang menunjukkan keadaan juga mencerminkan
adanya perbedaan sistem tingkat tutur. Sebagai contoh benda ialah griya, dalem
dan omah; penggunaan kata yang menunjukkan keadaan seperti kata lara, gerah dan
sakit. Dalam kata sifat seperti turu, sare dan matur nuwun, tilem.
Faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi tingkat kesopanan suatu ujaran menurut Scollon and
Scollon (1995: 42 – 43) yakni 1) kekuasaan, penutur cenderung menikkan tingkat
kesopana terhadap lawan tutur yang menurutnya memiliki kekuasaan yang lebih
tinggi daripada penutur; 2) hubungan sosial, apabila seseorang memiliki
hubungan yang dekat maka seseorang jarang memprhatikan tingkat kesopanan namun
sebaliknya apabila hubungan seseorang tidak dengan maka mereka akan menggunakan
bahasa yang disesuaikan dengan lawan tutur; 3) adanya kepentingan yang
mendesak, apabila seseorang memiliki kepentingan yang tinggi maka pemilihan
tuturan juga yang tinggi.
Kesantunan
yang menunjukkan rasa hormat saat berkomunikasi terhadap mitra tutur pasti ada
dalam setiap masyarakat penutur bahasa (Suryadi, 2010). Bentuk tingkat tutur
secara garis besar dalam bahasa dapat dibagai menjadi dua yaitu bentuk hormat
dan bentuk biasa yang penggunaannya disesuaikan dengan relasi penutur dan mitra
tutur (Wibawa, 2006). Ragam Bahasa Jawa yang sesuai yang sesuai tingkat tutur
Bahasa Jawa atau disebut dengan istilah undha-usuk basa jawa (Saddhono, 2016).
Perbedaan penggunaan tuturan yang memiliki maksud sama menunjukkan adanya
perbedaan tingkat tutur dalam bahasa Jawa yaitu tingkat tutur halus yang
membawakan rasa kesopanan tinggi (tingkat tutur krama), tingkat tutur menengah
sebagai cerminan rasa kesopanan sedang (tingkat tutur madya), serta tingkat
tutur biasa yang menunjukkan kesopanan yang rendah (tingkat tutur ngoko)
(Poedjasoedarma, 1979 : 7-8).
Tingkat
tutur halus disebut tingkat tutur krama, tingkat tutur sedang disebut tingkat tutr
madya dan tingkat tutur biasa disebut tingkat tutur ngoko. Setiap bentuk
tingkat tutur terbagi lagi menjadi tiga yakni 1) krama, terdiri atas muda
krama, kramantara dan wreda karma; 2) madya, terdiri atas madya karma
madyantara dan ngoko; 3) ngoko, terdiri atas basa antya, antya basa dan ngoko
lugu (Wilian, 2006).
Tingkat
tutur Bahasa Jawa menurut Soepomo terbagai menjadi dua yakni tingkat ngoko dan
tingkat basa. Akan tetapi, tingkat ngoko memiliki beberapa varian seperti ngoko
alus dan ngoko biasa. Apabila semakin banyak unsur kata krama seperti krama
inggil ataupun krama andhap dalam ujaran ngoko maka semakin haluslah ngoko
tersebut. 1) ngoko bentuk renda, ngoko bentuk rendah memiliki lemen yang
bersifat netral yakni dengan dua kata yang dianggap rendah (low). Tingkat tutur
tersebut digunakan apabila bentuk tersebut digunakan saat berbicara dengan
lawan tutur yang secara sosial dianggap lebih rendah, anggota keluarga yang
dianggap lebih muda, atau seseorang yang sangat dikenal dan akrab, misalnya bu
sastro (netral) wis (rendah) mangan (mangan); 2) ngoko bentuk menengah, ragam
ngoko ini lebih sering digunakan apabila hubungan penutur dan mitra tutur tidak
terlalu dekat dan memiliki status sosial yang sama, misalnya Bu Sastro (netral)
mpun (menengah) dhahar (hormat) atau Bu Sastro (netral) mpun (menengah) nedho
(tinggi); 3) ngoko bentuk tinggi, ragam bentuk tinggi ini digunakan untuk
menunjukkan jarak dan rasa hormat kepada mitra tutur yang yang dianggap
memiliki status sosial yang lebih tinggi, misalnya Bu Sastro (netral) sampun
(tinggi) nedho (tinggi).
Prinsip
unggah-ungguh Bahasa Jawa terbagi menjadi dua yaitu unggah-unggung ngko dan
unggah-ungguh krama (Sasangka, 2004). Perbedaan unggah-ungguh tersebut terletak
pada leksikon yang terangkai pada kalimat yang secara kontras terlihat
perbedaannya. Dalam bahasa jawa terdapat dua unggah-ungguh yakni ngoko dan
krama apabila terdapat bentuk lain maka itu hanya variasi dari ragam ngoko
maupun krama (Indrayanto, 2015).
Permasalahan
dalam penelitian ini dibahas dengan menggunakan teori semantik dan
sosiolinguistik yang terkait dengan faktor - faktor ekstralinguistik. Makna
mencakup maksud pembicara, pengaruh satuan bahasa dalam memahami persepsi atau
perilaku manusia, hubungan dan arti kesepadanan dan ketidaksepadanan antara
bahasa dan alam luar bahasa atau antara ujaran dan semua hal yang ditunjuk,
serta cara menggunakan lambang-lambang (Kridaklasana, 1983:120). Makna tuturan
kadang baru bisa dipahami secara utuh dengan memperhatikan hubungan
antarkalimat dalam suatu wacana. Makna suatu tuturan tidak hanya ditentukan
oleh sistem gramatika, tetapi juga bergantung pada konteks, seperti faktor
penutur, petutur, status sosial, atau tingkat sosial orang yang diajak bicara,
tempat waktu dan tujuan tuturan. Faktor - faktor tersebut ikut menentukan
pilihan bentuk - bentuk bahasa yang digunakan. Pilihan bentuk - bentuk bahasa
yang digunakan tersebut terkait dengan kesantunan dalam masyarakat Jawa yang
mengenal adanya tingkat tutur atau unda usuk.
Secara
garis besar tingkat tutur dalam bahasa Jawa atau Jawa ngoko dan bahasa Jawa
krama. Kedua pemilahan tersebut sebenarnya masih bisa diperinci lagi. Akan
tetapi, dalam tulisan ini tidak dipaparkan lebih jauh perincian tersebut karena
dalam penelitian ini lebih difokuskan pada pemahaman ekspresi tutur untuk
menafsirkan makna tuturan.
Terkait
dengan makna tuturan itu, dalam tulisan ini dibahas penggunaan kata matur nuwun
dan mangga dalam bahasa Jawa. Kata - kata tersebut diangkat sebagai
permasalahan karena dalam ekspresi tutur yang berbeda, kata - kata itu dapat
memiliki makna yang berbeda. Kata matur berasal dari bahasa Jawa atur yang
memperoleh prefiks ma- menjadi mantur. Kata atur merupakan bentuk nomina.
Ketika kata atur memperoleh prefiks ma- menjadi matur, kata tersebut mengalami
perubahan kelas kata menjadi verba. Adapun kata nuwun dan mangga merupakan kata
dasar.
Penggunaan
kata-kata matur nuwun dan mangga disajikan dalam beberapa contoh untuk
mengetahui keberadaan makna yang terkandung dalam ekspresi tutur tersebut.
Berikut ini penulis sajikan beberapa contoh penggunaan kata-kata matur nuwun
dan mangga dalam berbagai situasi.
Penutur
: "Mangga". 'mari'.
Petutur
: "Nggih, mangga-mangga". 'ya, mari-mari'.
Tuturan
ini terjadi dijalan. Kata mangga dituturkan oleh orang yang melewati kelompok
orang yang sedang berkumpul ditepi jalan. Kata mangga dalam konteks tersebut
bermakna denotasi. Tuturan itu dimaksudkan untuk menyapa orang yang dilewati
agar terjalin hubungan yang baik dalam hidup bermasyarakat. Dalam masyarakat,
orang yang melintas di depan orang atau kelompok orang bisa dianggap sombong
atau angkuh bila tidak menyapa.
Penutur
: "Mangga pinarak". 'sila mampir'.
Petutur
: "Nggih, matur nuwun. Sanes wedal, Juli keseso". 'ya, terimakasih.
Lain waktu, saya tergesa'.
Tuturan
ini terjadi didepan rumah yang terletak ditepi jalan. Kalimat mangga pinarak
ini dituturkan oleh salah satu penghuni rumah ketika berada dihalaman. Kalimat
tersebut ditujukan kepada orang yang dikenal dan melintas di jalan tersebut.
Tuturan mangga pinarak bisa dimaksudkan, baik untuk basa basi maupun sungguh -
sungguh. Biasanya tuturan tersebut hanya ditunjukkan kepada orang yang dikenal
dan memiliki hubungan baik. Dalam konteks tersebut penutur hendaknya pandai -
pandai menafsirkan makna tuturan, apakah sekedar basa basi atau sungguh -
sungguh. Biasanya bila penutur mengucapkan mangga pinarak saat dia tidak dalam
keadaan sibuk dan dengan sikap agak memaksa, itu berarti penutur
bersungguh-sungguh menyisakan petutur untuk mampir. Apabila penutur mengucapkan
mangga pinarak sekdarnya saja, itu berarti penutur hanya berbasa-basi. Dengan
memahami ekspresi tuturan, penutur perlu dapat menafsirkan makna nya.
Penutur
: "Mangga, kulo rumiyin". 'mari, saya mendahului'.
Petutur
: "Nggih, mangga-mangga". 'ya, silahkan'.
Tuturan
ini terjadi dijalan saat penutur melewati Petutur yang sedang berjalan. Penutur
menyapa Petutur dengan tujuan untuk beramah tamah sehingga terbangun hubungan
sosial yang baik. Berdasarkan pilihan kata diketahui bahwa bahasa Jawa krama
dipilih oleh penutur untuk menyapa dan dijawab oleh pesapa dengan bahasa Jawa
krama juga. Hal tersebut menunjukkan bahwa usia dan status sosial penutur dan
Petutur lebih kurang sederajat.
Penutur
: "Mangga, ngatur dhahar sakwontenipun". 'silahkan, makan seadanya'.
Petutur
: "Matur nuwun. Kulo nembe mawon nedhi". 'terimakasih. Saya baru saja
makan'.
Dialog
tersebut terjadi dalam suatu keluarga yang kedatangan tamu. Penutur menyisakan
tamunya atau Petutur untuk makan dengan mengatakan, "Mangga, ngatur dhahar
sakwontenipuni". Akan tetapi, Petutur menjawab, "Matur nuwun. Kulo
nembe nedhi". Jawaban tersebut bermakna penolakan secara halus. Kalimat
kulo nembe bedhi 'saya baru saja makan' dapat diartikan "saya masih
kenyang dan tiada ingin makan". Dengan pilihan kata-kata itu tuan rumah
atau penutur tidak merasa tersinggung atas penolakan tersebut.
Kadang-kadang
tawaran untuk makan bila hanya dijawab matur nuwun, penutur harus pandai -
pandai memahami makna ekspresi tutur petutur. Pemahaman ekspresi tutur ucapan
matur nuwun 'terima kasih' yang bermakna 'tidak mau' dalam situasi tawaran
untuk makan hanya bisa dipahami secara jelas melalui pemaknaan ekspresi tutur
dan pemahaman hubungan antar konteks kalimat itu.
Penutur:
"kowe gelem roti?". 'kamu mau roti?'.
Petutur:
"Nggih, purun, matur nuwun". 'ya, mau, terimakasih'.
Dialog
tersebut terjadi pada dua orang dengan perbedaan usia yang cukup banyak, yakni
tiga puluhan tahun. Penutur menggunakan bahasa Jawa ngoko kepada Petutur karena
perbedaan usia, status sosial, dan mereka sudah saling mengenal. Kalimat kowe
gelem roti? Menggunakan bahasa jawa ngoko, sedangkan kalimat "Nggih,
purun, matur nuwun" merupakan kalimat bahasa jawa krama. Petutur
menggunakan bahasa Jawa krama dengan maksud untuk sopan santun dan menghormati
Petutur.
Pemahaman
ekspresi tutur ucapan matur nuwun 'terima kasih' yang bermakna 'tidak mau'
dalam situasi sungguhan atau tawaran untuk makan hanya bisa dipahami secara
jelas melalui pemaknaan ekspresi tutur dan pemahaman arti hubungan antar
kalimat dalam wacana tersebut.
1.
Ragam Ngoko
Ragam
ngoko ialah unggah-ungguh Bahasa Jawa yang memiliki inti leksikon ngoko dalam
ragam ngoko bukan leksikon yang lain. Dalam ragam ngoko afiks yang muncul hanya
berbentuk ngoko seperti di-, -e, dan-ake. Ragam ngoko dapat digunakan apabila
seseorang memiliki hubungan yang akrab dengan mitra tutur atau seseorang yang
merasa status sosialnya lebih tinggi daripada mitra tuturnya. Ragam ngoko
terdapat dua varian yakni ngoko lagu dan ngoko alus. 1) Ngoko lugu ialah
unggah-ungguh dalam bahasa jawa yang semua kosakatanya berbentuk ngoko dan
netral (leksikon ngoko dan netral) tanpa terselip leksikon krama, krama inggil,
atau krama andhap, baik untuk O1, O2, maupun (O3). Contoh: Yen mung kaya ngunu
wae, aku mesthi ya iso (Jika cuma seperti itu saja, saya pasti juga bisa); 2)
ngoko alus, ngoko alus ialah unggah-ungguh yang didalamnya tidak hanya leksikon
ngoko dan netral saja tetapi juga ada leksokon krama inggil dan andhap.
Leksikon krama inggil dan andhap yang muncul digunkan untuk menghormati mitra
tutur. Leksikon krama inggil yang muncul biasanya terbatas pada kata kerja,
benda dan pronomina. Sedangkan leksikon krama andhap yang muncul biasanya
berbentuk kata kerja, misalnya Mentri pendhidhikan sing anyar iki asmane sapa?
(Menteri pendidikan yang baru ini siapa namanya?).
2.
Ragam Krama
Ragam
krama ialah unggah-ungguh bahasa jawa yang memiliki inti leksikon krama dan
leksikon lain. Dalam ragam krama afiks yang muncul dipun-, -ipun, dan -aken.
Ragam krama digunakan bila seseorang merasa status sosialnya lebih rendah
daripada mitra tuturnya. Ragam krama terbagi menjadi dua variasi yaknikrama
lugu dan krama alus. 1) krama lugu, leksikon yang terdapat dalam ragam ini
berupa ngoko. Kata lugu dalam ragam ini menunjukkan bahwa ragam ini memiliki leksikon
krama, madya dan lugu serta tambahan krama inggil dan andhap. Akan tetapi yang
menjadi leksikon inti ialah krama, madya dan netral. Leksikon krama inggil dan
krama andhap hanya digunakan untuk menghormati mitra tutur. Secara semantik
ragam krama lugu dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk ragam krama yang
kadar kehalusannya rendah. Meskipun demikian, ragam ini tetap menunjukkan
kehalusan dibandingkan ngoko alus. Contoh: Sing dipilih Sigit niku jurusan
jurnalistik utawi perhotelan. (Yang dipilih Sigit itu jurusan jurnalistik atau
perhotelan); 2) krama alus, krama alus ialah unggah-ungguh bahasa jawa yang
memiliki leksikon into krama yang dapat berapa krama inggil ataupun krama
andhap. Dalam tingkat tutur ini leksikon ngoko Dan madhya tidak pernah muncul.
Dalam ragam ini secara konsisten krama inggil dan andhap sekali digunakan untuk
menghormati mitra tutur. Dari segi semantik ragam krama alus ini merupakan
ragam krama yang memiliki tingkat kehalusan paling tinggi. Contoh: para
miyarso, wonton ing giyaran punika Lula badhe ngaturaken eembag bab kasusastran
jawi (para pendengar, Salam kesempatan saran ini saya akanberbicara tentang
kesusastraaan jawa).
SIMPULAN
Tingkat
tutur digunakan untuk menunjukkan rasa sopan atau rasa hormat terhadap lawan
tutur. Penggunaan tingkat tutur ditentukan oleh faktor usia, status sosial,
kekerabatan, Sarah kebangsawanan, pendidikan dan konteks percakapan. Ragam
bahasa jawa terbagi menjadi dua yakni bahasa jawa ragam ngoko dan bahasa jawa
ragam krama. Ragam ngoko terbagi lagi menjadi dua yakni ngoko alus dan ngoko
lugu sedangkan ragam krama terbagi menjadi krama alus dan krama lugu. Dalam
bertutur perlu memperhatikan tingakt kesopanan berbahasa karena dalam berbahasa
terdapat nilai-nilai sosial budaya.
Kata
mangga bisa berarti sila, silahkan atau mari (ajakan) dapat digunakan, baik
dalam situasi formal maupun non formal. Kata mangga merupakan bentuk bahasa
jawa krama yang digunakan untuk menyatakan arti sila/silahkan pada orang yang
diajak bicara atau Petutur dengan maksud untuk menghormati karena adanya
perbedaan faktor - faktor sosial, seperti usia dan status sosial. Pilihan kata
mangga ini biasa ditunjukkan pada orang yang lebih tua atau memiliki status
sosial lebih tinggi. Kata mangga bisa bermakna menyilakan dengan sungguh -
sungguh dan menyisakan hanya sebagai basa basi. Adapun kata - kata matur nuwun
dapat bermakna ungkapan terima kasih secara sesungguhnya dan dapat bermakna
penolakan secara halus. Kedua kata - kata tersebut, yakni mangga dan matur
nuwun hanya dapat diketahui maknanya secara tepat atau utuh melalui pemahaman
ekspresi saat tuturan itu disampaikan.
DAFTAR
PUSTAKA / REFERENSI :
1. Anis, M. Y., & Saddhono, K. (2016). Strategi Penerjemahan
Arab–Jawa sebagai Sebuah Upaya dalam Menjaga Kearifan Bahasa Lokal (Indigenous
Language). Akademika: Jurnal Pemikiran Islam, 21(1), 35-48.
2. Indrayanto, B., & Yuliastuti, K. (2015). Fenomena Tingkat
Tutur dalam Bahasa Jawa Akibat Tingkat Sosial Masyarakat. Magistra, 27(91).
3. Kurniati, E., & Mardikantoro, H. B. (2010). Pola Variasi
Bahasa Jawa (Kajian Sosiodialektologi pada Masyarakat Tutur di Jawa Tengah.
Jurnal Humaniora, 22(3), 273-284.
4. Laila, W. N. (2016). Konsep Diri Remaja Muslim Pengguna Bahasa
Jawa Krama. Profetik: Jurnal Komunikasi, 9(2), 61-69. Mardikantoro, H. (2012).
Bentuk Pergeseran Bahasa Jawa Masyarakat Samin dalam Ranah Keluarga. Litera,
11(2).
5. Muhid, A., & AKI, S.
U. (2011). Tingkat Tutur Bahasa Jawa Masyarakat Samin Desa Klopoduwur Kabupaten
Blora. Majalah Ilmiah Informatika, 2(1).
6. Partana, P. (2010). Pola
Tindak Tutur Komisif Berjanji Bahasa Jawa. Widyaparwa, 38(1), 81-89.
7. Poedjasoedarma, Soepomo, Th. Kundjana, Gloria Soepomo, dan Alip
Soeharso. 1979. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta : Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
8. Poedjosoedarmo, S. (1979). Tingkat tutur bahasa Jawa (Vol. 8).
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
9. Pujiyatno, A. (2007). Variasi dialek Bahasa Jawa di Kabupaten
Kebumen:: Kajian Sosiodialektologi (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah
Mada).
10. Rokhman, F., &
Poedjosoedarmo, P. P. D. H. S. (2003). Pemilihan bahasa dalam masyarakat
dwibahasa:: Kajian sosiolinguistik di Banyumas (Doctoral dissertation,
Universitas Gadjah Mada).
11. Saddhono, K. (2004). Aspektualitas bahasa Jawa: kajian morfologi
dan sintaksis. Pustaka Cakra Surakarta. Saddhono, K. (2007). Bahasa Etnik
Pendatang di Ranah Pendidikan Kajian Sosiolinguistik Masyarakat Madura di Kota
Surakarta. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, 13(66), 469- 487.
12. Saddhono, K. (2013). Fenomena pemakaian bahasa Jawa sebagai
bahasa ibu pada sekolah dasar kelas rendah di kota Surakarta: Sebuah kajian
sosiolingustik. Surakarta: Sebelas Maret University.
13. Saddhono, K. (2016). Dialektika Islam dalam mantra sebagai
bentuk kearifan lokal Budaya Jawa. AKADEMIKA: Jurnal Pemikiran Islam, 21(1),
83-98.
14. Saddhono, K. (2018). Bercerita Dengan Media Wayang Kulit Untuk
Meningkatkan Pemahaman Tingkat Tutur Bahasa Jawa Siswa Smp Di Kabupaten
Magelang.
15. Saddhono, K., Wijana, I., & Poedjosoedarmo, S. (2010).
Wacana Bahasa Jawa dalam Khotbah Jumat di Kota Surakarta: Perspektif Kajian
Linguistik Kultural.
16. Sasangka, Sry Satriya Tjatur Wisnu. 2009. UnggahUngguh Bahasa
Jawa (Editor: Yeyen Maryani). Jakarta: Yayasan Paramalingua. Suryadi, M.
(2010).
17. Konstruksi Leksikal Tuturan Jawa Pesisir yang Bertautan dengan
Nilai Kesantunan. In Jurnal Seminar Nasional Bahasa dan Budaya. Wibawa, S.
(2006). Pendekatan Pembelajaran Bahasa Jawa di SMA/SMK/MA. Semarang: Makalah
Kongres Bahasa Jawa.
18. Wilian, S. (2006). Tingkat tutur dalam bahasa Sasak dan bahasa
Jawa. Wacana, 8(1), 32-53.
19.
Creswell, J. W. 1998. Qualitative Inquiry and Research Design. California :
sage publications, Inc.
20.
Damariswara, Rian. 2016. "Analisis ketidaktepatan penggunaan Bahasa Jawa
Krama Alus Mahasiswa PGSD Angkatan 2012 UN PGRI Kediri dalam Mata Kuliah Bahasa
Daerah." Jurnal Pendidikan Dasar Nusantara vol. 2 No. 1 Juli 2016. Https:/
/ www.e-jurnal.com/2017/05/analisis-ketidaktepatan-penggunaan.html. Diunduh
pada tanggal 20 Februari 2020.
21.
Haryati, Dewi Sri, 2020." Bentuk Sinonimi dalam Bahasa Jawa (Kajian
Semantik), " Jurnal Bahasa dan Sastra Vol. 5 No. 4 http:/ /
jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/BDS/article/viewFile/12742/9846. Diunduh
pada tanggal 20 Februari 2020.
22.
Kridaklasana, Harimurti. 1983. Kamus Linguistik Jakarta: Gramedia.